Beranda Profesionalisme 'ala' Garut: Kerja Serius, Bayaran Bercanda

Profesionalisme 'ala' Garut: Kerja Serius, Bayaran Bercanda

3 minggu yang lalu - waktu baca 3 menit
Ilustrasi. (Kawaldata.com)

Kawaldata.com — Kabupaten Garut punya potensi besar dalam hal sumber daya manusia (SDM). Tapi potensi itu sering terbentur pada satu hal yang seolah sudah mendarah daging: profesionalisme yang rapuh. Atmosfer kerja di Garut kerap digambarkan lebih mirip warung kopi ketimbang ruang profesional, lengkap dengan politik kantor, jam kerja fleksibel ala kadarnya, dan komitmen yang gampang luntur.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Garut Agustus 2024 mencatat, jumlah penduduk bekerja mencapai 1,34 juta orang. Dari jumlah itu, hanya sekitar 27,87 persen atau kurang dari 370 ribu orang yang bekerja di sektor formal. Sisanya masih berkutat di sektor informal, tempat di mana disiplin sering kabur dan bayaran kerap ditentukan “sesuka hati majikan”.

Tak heran jika banyak pekerja Garut yang bercanda getir: “Kerja serius, bayaran bercanda.”

UMK Rendah, Ekspektasi Tinggi

UMK Garut 2025 ditetapkan sebesar Rp2.328.555 per bulan, naik sekitar 6,5 persen dari tahun sebelumnya. Meski naik, Garut tetap berada di posisi 23 dari 27 kabupaten/kota se-Jawa Barat. Bayaran ini membuat banyak pekerja merasa terjebak di antara realitas kebutuhan hidup dan tuntutan kerja yang makin tinggi.

“Bos maunya standar kerja kayak di Jakarta, tapi gajinya standar cilok. Ya gimana nggak males?” kata Rudi, seorang karyawan swasta di Tarogong, sambil terkekeh.

Cerita serupa datang dari Eneng, pegawai toko pakaian di kawasan Samarang. Ia mengaku sering diminta lembur tanpa dihitung sebagai tambahan gaji. “Katanya sih, kalau ikhlas kerja, rezeki ditambah Tuhan. Tapi kalau bos ikhlas bayar, kayaknya lebih berkah juga buat saya,” ujarnya.

Komitmen di Atas Kertas

Tak hanya soal gaji, komitmen kerja pun kerap jadi bahan satire. Banyak instansi atau perusahaan di Garut yang gemar menggaungkan kata “profesionalisme” dalam rapat atau seminar. Tapi di lapangan, komitmen itu rapuh. Atasan minta bawahan loyal, sementara dirinya sendiri telat menggaji. Pekerja dituntut disiplin, sementara aturan kerja tak pernah jelas.

Banyak pekerja akhirnya ikut menyepelekan. Mereka berangkat kerja sekadar untuk mengisi absen, tanpa inisiatif lebih. “Dibayar sakieu, kerjana sakieu,” begitu dalih yang sering terdengar.

Padahal, data BPS menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Garut mencapai 71,34 persen pada Agustus 2024, artinya semakin banyak warga yang masuk pasar kerja. Ironisnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih 6,96 persen. Ini menunjukkan, ada banyak orang yang bersaing untuk pekerjaan dengan upah minimum, tapi kualitas SDM dan atmosfer kerja tetap stagnan.

Profesionalisme Sebatas Jargon

Pengamat ketenagakerjaan lokal menilai, budaya kerja di Garut belum sepenuhnya mengakar pada standar profesional. “Di sini, sering yang naik jabatan bukan yang paling kompeten, tapi yang paling pintar merangkai kata ‘asal bapak senang’,” ujar seorang dosen perguruan tinggi swasta di Garut yang enggan disebut namanya.

Di sektor UMKM, masalahnya hampir sama. Banyak pengusaha yang ingin untung besar tapi enggan investasi pada peningkatan kapasitas karyawan. Pelatihan dianggap beban, bukan investasi. Akibatnya, SDM dibiarkan berjalan di tempat.

“Kalau ada pelatihan, itu biasanya cuma formalitas. Yang penting ada dokumentasi buat laporan, bukan hasilnya,” ungkap Asep, mantan karyawan salah satu koperasi di Garut.

Potensi Terkubur Mentalitas

Garut sebenarnya punya tenaga kerja muda yang melimpah, bersemangat, dan kreatif. Tapi potensi itu sering terkubur dalam budaya kerja yang setengah-setengah. Profesionalisme hanya muncul saat ada kunjungan pejabat atau lomba inovasi, sisanya kembali ke rutinitas asal jalan.

Selama logika kerja di Garut masih memegang prinsip “kerja sekelas internasional, gaji sekelas kas bon warung”, profesionalisme akan terus jadi bahan tertawaan. Dan Garut, yang sejatinya punya peluang besar untuk melompat maju, akan terus terjebak dalam lingkaran absurd: komitmen di atas kertas, attitude di ruang rapat, tapi nihil dalam praktik sehari-hari. (*)

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.