Publik Terbelah Menilai Program Makan Bergizi Gratis
Kawaldata.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Prabowo–Gibran terus menyedot perhatian publik. Sejak resmi diluncurkan, program ini menuai apresiasi sekaligus kritik. Sejumlah survei dan analisa media sosial menunjukkan hasil yang beragam mengenai tingkat kepuasan masyarakat terhadap implementasinya.
Survei Indikator Politik Indonesia yang dilaporkan Antara mencatat, dalam 100 hari pelaksanaan, sekitar 64,6 persen responden menyatakan puas dengan program MBG. Angka ini mengindikasikan mayoritas publik melihat adanya manfaat, meski sebagian juga mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan anggaran.
Temuan serupa datang dari Indonesia Political Opinion (IPO). Lembaga ini melaporkan sekitar 60 persen masyarakat puas, sedangkan 19 persen menyatakan tidak puas. Data tersebut memperlihatkan dukungan relatif kuat, namun tidak menutup adanya kritik yang cukup signifikan.
Di sisi lain, hasil berbeda ditunjukkan oleh survei yang dikutip KBAnews. Hanya 30,1 persen responden yang menyatakan puas terhadap program ini. Sementara laporan Tempo menyoroti dampak langsung pada pengeluaran rumah tangga, di mana 26 persen responden menilai MBG tidak membantu sama sekali dalam meringankan beban biaya sehari-hari.

Perbedaan angka ini menunjukkan bahwa persepsi publik masih terbelah. Sebagian melihat MBG sebagai terobosan untuk meningkatkan gizi anak sekolah dan kelompok rentan, sementara sebagian lain menganggap manfaatnya belum terasa merata.
Selain data survei formal, Kawaldata.com juga melakukan analisis sentimen media sosial sepanjang Agustus–September 2025, dengan memantau lebih dari 50 ribu unggahan di X (Twitter), TikTok, dan Instagram. Hasilnya, tercatat:
- Positif: 42% (apresiasi pada pemerataan akses makanan gratis dan perhatian pada anak sekolah)
- Netral: 28% (sekadar membagikan informasi program, tanpa opini kuat)
- Negatif: 30% (kritik terkait keterlambatan distribusi, kualitas makanan, serta isu anggaran).

Dari analisis kualitatif, mayoritas komentar positif muncul dari kalangan guru dan orang tua yang melihat siswa lebih bersemangat hadir di sekolah. Sebaliknya, kritik banyak datang dari wilayah urban yang menyoroti standar kualitas dan dugaan pemborosan anggaran.
Dampak dan Estimasi
Di balik angka kepuasan publik, persoalan besar yang tak bisa diabaikan adalah skala anggaran dan potensi risiko penyalahgunaan.
- Anggaran MBG diperkirakan mencapai Rp400 triliun dengan target 82,9 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia.
- Potensi kerugian negara ditaksir bisa mencapai Rp1,8 miliar per tahun di setiap Satuan Pelaksana Pemberian Gizi (SPPG).
- Studi CELIOS bahkan memperkirakan risiko korupsi dapat menembus Rp8,5 triliun bila model penyaluran dana tetap sentralistik tanpa kontrol ketat di daerah.
Besarnya anggaran dan potensi kebocoran ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas tata kelola MBG di lapangan.
Upaya Mitigasi
Sejumlah rekomendasi mengemuka untuk mencegah program ini menjadi beban fiskal sekaligus ladang korupsi:
- Moratorium Program: Transparency International Indonesia (TII) menyarankan moratorium sementara guna melakukan evaluasi menyeluruh dan perbaikan.
- Peraturan Presiden: Dibutuhkan payung hukum yang jelas dan kuat untuk memastikan keberlangsungan dan kepastian hukum pelaksanaan MBG.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Sistem pelaporan terbuka serta pelibatan masyarakat lokal dianggap sangat penting untuk meminimalisasi manipulasi data maupun penyalahgunaan.
- KPK Turun Tangan: Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan siap membantu mengawasi MBG dengan fokus pada pencegahan dan monitoring distribusi anggaran.
Pemerintah sendiri mengklaim bahwa program ini telah menjangkau puluhan juta penerima manfaat, termasuk siswa sekolah dasar hingga kelompok rentan di berbagai daerah. Data internal pemerintah juga menyinggung adanya peningkatan kehadiran siswa di sekolah sebagai dampak positif dari distribusi makanan bergizi.
Namun, dengan anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah, publik menuntut agar MBG tidak sekadar menjadi program populer secara politik, melainkan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas—dengan pengelolaan yang transparan, efisien, dan bebas dari praktik koruptif. (*)
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.