Beranda Alih Fungsi Lahan dan Curah Hujan Ekstrem: Data di Balik Banjir Bandang Bali

Alih Fungsi Lahan dan Curah Hujan Ekstrem: Data di Balik Banjir Bandang Bali

3 minggu yang lalu - waktu baca 3 menit
Infografis gabungan untuk banjir Bali 2025. Isinya menampilkan grafik persentase penyusutan sawah, grafik penyusutan sawah dalam hektar, diagram pie kondisi tutupan hutan serta ringkasan naratif penyebab banjir. (Kawaldata.com)

Kawaldata.com — Banjir bandang yang menerjang Bali awal bulan ini tidak hanya disebabkan oleh hujan deras semata. Berbagai data menunjukkan bahwa kombinasi antara curah hujan ekstrem dan alih fungsi lahan yang masif telah memperparah dampaknya, sehingga banjir menjadi lebih luas dan merusak daripada di waktu sebelumnya.

Data dan Fakta Utama

Menurut Walhi Bali, dari 2018 hingga 2023, luas sawah di empat kabupaten/kota di Bali — Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (kawasan metropolitan Sarbagita) — mengalami penyusutan sebesar antara 3–6% dari wilayah total kabupaten/kota masing-masing.

Kabupaten Tabanan mencatat penyusutan sawah paling besar: sekitar 2.676,61 hektar selama periode tersebut.

Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, yang memiliki sistem sawah “Subak” seluas sekitar 360 hektar dengan jaringan aliran sungai sepanjang 80 km, juga terancam alih fungsi lahan. Pola penggunaan lahan berubah menjadi hotel, restoran, homestay, dan fasilitas wisata lain.

Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa tutupan hutan di wilayah dataran tinggi Bali tersisa kurang dari 4% dari sekitar 49.000 hektar, hanya sekitar 1.200 hektar yang masih memiliki vegetasi pohon.

Selain data alih fungsi lahan dan kehilangan tutupan hutan, faktor meteorologis juga berperan.

BMKG dan pihak terkait menyebutkan bahwa hampir seluruh wilayah Bali dilanda curah hujan ekstrem dan fenomena atmosfer seperti gelombang ekuatorial Rossby, sehingga debit hujan sangat tinggi dalam kurun waktu pendek.

Jumlah titik banjir mencapai lebih dari 100 titik, dengan daerah-daerah perkotaan seperti Denpasar menjadi salah satu yang paling terdampak.

Bagaimana Alih Fungsi Lahan Memperparah Krisis Banjir?

Data-tersebut menunjukan bahwa alih fungsi lahan — khususnya sawah dan area-Subak, hutan, dan ruang terbuka hijau — memiliki dampak langsung terhadap sistem penanganan air Jepang alami dan sistem drainase kota:

Fungsi resapan air terganggu

Sawah dan Subak berfungsi sebagai penahan air hujan dan penampung alami yang memungkinkan infiltrasi (air meresap ke dalam tanah). Ketika lahan ini dikonversi menjadi lahan keras (bangunan, hotel, homestay, fasilitas wisata), kemampuan penyerapan tersebut hilang. Air hujan yang seharusnya meresap justru menjadi limpasan permukaan yang cepat mengalir ke sungai dan saluran drainase.

Drainase perkotaan & sistem hidrologi terganggu                         

Banyak daerah perkotaan yang drainasenya tidak mampu menahan lonjakan air hujan ekstrem. Saluran tersumbat sampah, tata ruang yang tidak selaras dengan wilayah datar, serta pembangunan di bantaran sungai/pesisir memperparah kondisi limpasan.

Kerusakan ekosistem lokal

Keberadaan hutan dan vegetasi di hulu sangat penting untuk menyerap curah hujan di atas rata-rata dan memperlambat aliran air ke hilir. Hilangnya tutupan hutan dan vegetasi mempercepat aliran permukaan dan meningkatkan risiko longsor dan banjir bandang.

Respon Pemerintah dan Kritik Publik

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian dan hutan harus dihindari, dan pihaknya siap menempuh jalur hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan.

Pemerintah Provinsi Bali dan kabupaten/kota terdampak diberi tugas memperketat prosedur izin penggunaan lahan, memperhatikan fungsi DAS (Daerah Aliran Sungai), ruang resapan, dan menjaga sempadan sungai serta pantai.

Kritikus tata ruang dan organisasi lingkungan menyoroti bahwa RTRW dan izin pembangunan sering dilanggar atau didesain tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan secara memadai. Mereka menuntut audit tata ruang dan sanksi tegas terhadap pelanggar.

Data yang ada jelas mengindikasikan bahwa alih fungsi lahan di Bali bukan hanya soal estetika atau ekonomi wisata saja. Ia juga terkait langsung dengan kemampuan Bali menahan air hujan ekstrem, mencegah kerusakan, dan melindungi warga dari risiko banjir bandang.

Langkah-ke depan yang mendesak, diantaranya pemulihan fungsi lahan resapan dan sawah/Subak, termasuk perlindungan hulu DAS dan ruang terbuka hijau.

Lalu, penegakan hukum terhadap alih fungsi lahan ilegal atau yang merusak ekosistem, serta transparansi izin pembangunan.

Kemudian penerapan sistem tata ruang yang ketat, berdasarkan data curah hujan, pemetaan risiko bencana, dan melibatkan partisipasi masyarakat.

Terakhir, penyempurnaan sistem drainase kota, pengelolaan sampah dan limpasan air, agar tidak terjadi penyumbatan saluran air saat hujan ekstrem.

Dengan menempatkan data sebagai dasar kebijakan, pemerintah Bali memiliki peluang untuk tidak hanya memperbaiki respons terhadap banjir saat terjadi, tetapi meminimalkan kemungkinan terjadinya bencana serupa di masa depan. Tindakan nyata harus segera diambil — tidak sekadar pernyataan. (*)

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.